ISU PENGKLAIMAN BUDAYA : MENGGUGAT MAKNA KATA “SERUMPUN” ANTARA HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA

ISU PENGKLAIMAN BUDAYA : MENGGUGAT MAKNA KATA “SERUMPUN” ANTARA HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA

Liza Umami & M. Darley Alfian Pratama
Politik Luar Negeri Indonesia
Hubungan Internasional / Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Abstract
 In fact, bilateral relations between two countries is very strategic because a somewhat similar but unlike similar national interests may be beneficial, not just similarities in geographical factor but also from the cultural roots of history, as shown by Indonesia and Malaysia. Having the same identity as the Malay nation and the descendants of the same ancestor too, harmony and sense of kinship are well established although fortified with a different sense of nationalism in two sovereign nations. The dynamics in this rather complex relationship is complicated because it is always colored by issues that almost stretch this very close relationship such as the issue of cultural claim that is often done by Malaysia. Then, the meaning of the “cognate” word as being questioned in the assertive action to be taken by Indonesia.
Therefore, this paper aims to discuss more about the dynamics of Indonesian foreign policy towards Malaysia which often claim Indonesian culture. So many cultures claimed in recent years, Indonesia’s unequivocal action is questionable because it seems like Malaysia ignores the warnings imposed by Indonesia. And whether Indonesian sovereignty is being tested with a cognate word that becomes a sign of intimacy? By the reactions raised by Malaysia, then hypotheses and speculations are also emerging. The influence of diplomatic relationship that allied to Indonesia’s action against the issue of cultural claims by Malaysia. This paper also will discuss the possibility of future challenges in bilateral relations between these two countries. A conclusion will close this paper.
Keywords: Cultural Claiming, ‘Serumpun’-Kinship-Cluster, Diplomatic Relations


Sebenarnya, Hubungan bilateral antar dua negara sangat strategis karena kepentingan nasional yang agak mirip tapi tidak serupa bisa jadi menguntungkan, tidak hanya kesamaan pada factor geografis tetapi juga dari akar sejarah kebudayaannya, Seperti yang ditunjukkan oleh Indonesia dan Malaysia. Memiliki identitas yang sama sebagai bangsa melayu dan keturunan nenek moyang yang sama, keharmonisan dan rasa kekeluargaan terjalin dengan baik meskipun terbentengi dengan rasa nasionalisme yang berbeda dalam dua negara yang berdaulat. Dinamika dalam hubungan yang agak kompleks ini sangat merumitkan karena selalu diwarnai dengan isu-isu yang hampir meregangkan hubungan yang sangat dekat ini seperti isu pengklaiman budaya yang sering dilakukan oleh Malaysia. Kemudian, Makna kata serumpun seolah dipertanyakan dalam tindakan tegas yang akan diambil oleh Indonesia.
Oleh sebab itu, paper ini bertujuan untuk membincangkan lebih lanjut tentang dinamika kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Malaysia yang seringkali mengklaim budaya Indonesia. begitu banyak kebudayaan yang diklaim beberapa tahun belakangan ini, tindakan tegas Indonesia dipertanyakan karena seolah Malaysia seperti tidak menghiraukan peringatan yang dilayangkan oleh Indonesia. dan apakah kedaulatan Indonesia sedang diuji dengan kata serumpun yang menjadi tanda keakraban? Dengan reaksi yang dimunculkan oleh Malaysia, kemudian hipotesa bermunculan. Adanya pengaruh dari hubungan diplomatik yang serumpun menjadi hambatan tindakan tegas Indonesia terhadap isu pengklaiman budaya oleh Malaysia. Paper ini juga akan membahas kemungkinan tantangan di masa depan dalam hubungan bilateral antar kedua negara ini. Sebuah kesimpulan akan menutup tulisan ini.   

PENDAHULUAN
Identitas budaya keserumpunan antara Indonesia dan Malaysia berangkat dari pemahaman adanya hubungan kekeluargaan dikarenakan adanya aksi saling membantu dalam sejarah dimana perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai negara yang pernah dijajah. Dikatakan serumpun karena memiliki akar sejarah kebudayaan, kerajaan-kerajaan, agama bahkan keturunan yang sama. Identitas bersama inilah kemudian memudahkan mereka dalam berhubungan dan menyelesaikan masalah. Pemahaman in pada awalnya yang membuat hubungan mereka semakin erat dan tak terpisahkan.
Namun, beberapa tahun belakangan ini berbagai isu dan kontroversi mulai mengusik hubungan ini yang tidak hanya muncul dari pengklaiman budaya saja tapi juga dari berbagai masalah yang biasanya timbul dari orang-orang Indonesia seperti permasalahan TKI yang membludak di Malaysia. Ada penelitian yang berpendapat bahwa keberanian Malaysia dalam mengklaim dan mulai meregangkan hubungan dikarenakan merasa lebih unggul dan lebih mampu mengelola sumber-sumber daripada Indonesia. pemahaman ini seiring bergeser dari visi awal yang saling menghormati tapi kemudian berubah pemahaman bahwa Malaysia lebih maju, berkembang, dan stabil. 
Kontroversi isu pengklaiman budaya menjadi sebuah isu yang selalu diperbincangkan, tercatat setidaknya ada I0 budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia oleh Forum Masyarakat Peduli Budaya Indonesia (FORMASBUDI) yaitu; batik, lagu Rasa ayange, Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Kuda Lumping, Rendang Padang, Keris, Angklung, Tari Pendet, Tari Piring dan Gamelan Jawa. Hal ini adalah sebuah kewajaran karena mengingat begitu banyak budaya yang tersebar di seantero nusantara membuat masyarakat Indonesia sendiri minim yang mengetahui seluk beluk sejarah suatu kebudayaan apalagi sekedar megetahuinya. Ditambah lagi kemiripan kebudayaan dari bentuk alat music, nada sebuah lagu serta adat budaya tersebut. Dari sinilah kerancuan pembagian budaya yang terjadi, memiliki ras dan suku yang sama seringkali menciptakan pemahaman seolah mendapat hak yang sama atas kebudayaan yang diwariskan.
Menanggapi isu ini, berbagai protes dan kecaman dari berbagai suku di Indonesia berdatangan. Mereka bahkan mendatangi dan berdemonstrasi di hadapan kedutaan besar Malaysia serta menuntut Malaysia untuk menarik kembali pernyataannya. Persoalan ini memang sangat rumit tidak hanya soal kesamaan sejarah tapi juga mempertanyakan kesungguhan Indonesia dalam melestarikan menghargai kebudayaannya. Ini terlihat dari daftar warisan budaya Indonesia yang tidak semuanya terdaftar dalam pengakuan resmi PBB. Pastinya ini bisa menjadi suatu kesempatan yang besar bagi Malaysia untuk mengakuinya secara resmi.
Langkah yang diambil oleh Indonesia dinilai tidak tegas dan tidak efektif karena kasus ini kembali berulang kali dan begitu banyak budaya yang sudah diklaim. Respon Malaysia juga seolah tidak mengindahkan nota diplomasi Indonesia keberatan terhadap klaim Malaysia, dan ini berarti kedaulatan Indonesia terhadap budaya di bawah naungannya terancam tidak dihormati. Maka dari itu, paper ini juga menjawab apakah ada makna terselubung atau kepentingan lain atas dasar kata ‘serumpun’ dan apakah ia juga menjadi pertimbangan bagi kebijakan luar negeri Indonesia untuk bisa mengambil tindakan tegas atau memberikan sanksi terhadap pengklaiman yang sering dilakukan oleh Malaysia seperti pemutusan diplomatic atau pemulangan duta.

PEMBAHASAN
Kerangka Histori Indonesia dan Malaysia
Disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku dengan judul “Persaudaraan sepanjang hayat mencari penyelesaian damai konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966”, oleh Dr. Linda Sunarti secara resmi hubungan Indonesia sebagai negara yang merdeka baru terjalin dengan malaysia setelah mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. Tetapi pada hakikatnya hubungan kedua negara ini sudah berjalan secara informal  karena sejarah nenek moyang yaitu persamaan ras rumpun melayu.
Jauh sebelum datangnya imperialisme dan kolonialisme bangsa barat, masyarakat Indonesia dan Malaysia sudah dihubungkan secara politis oleh kerajaan-kerajaan pada saat itu diantaranya kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Sriwijaya, kerajaan Majapahit dan kerajaan Malaka. Hubungan yang terjalin baik antara Indonesia dan Malaysia dari berabad-abad silam telah dirubah dan dirusak oleh bangsa-bangsa barat, terutama Inggris dan Belanda yang mana para penjajah ini ingin memperluas wilayah negara dan menguasai rempah-rempahnya.
Dalam perjanjian London 1824 pada pasal 9 dan 10, pihak Inggris menyetujui untuk menyerahkan seluruh pusat perdaganggannya di Sumatra kepada pihak Belanda dan tidak akan membuat perjanjian dengan pemimpin Sumatra dalam hal apapun. Begitupun dengan pihak Belanda menyetujui untuk menyerahkan kota Malaka dan kawasan-kawasannya di Semenanjung Malaya kepada Inggris dan tidak akan membuat perjanjian dengan pemimpin lokal di Semenanjung Malaya dalam hal apapun.
Dari sejarah terbukti bahwa Indonesia dan Malaysia dahulunya satu ras satu negara yang biasa disebut dengan kepulauan melayu, hanya kolonialisme bangsa barat lah yang membuat Indonesia dan Malaysia terpecah.  Sekarang ini keuauan meayu terbagi menjadi enam negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Timor Leste dan Filiphina. Semenanjung Melayu berubah menjadi pusat bordil di Asia Tenggara ketika bangsa Eropa memulai perdagangan mereka melalui Selat Malaka.
Pada abad ke-5, Kesultanan Malaka berdiri dan ekonominya telah berkembang pesat hingga menarik minat bangsa barat seperti Portugis, Belanda dan Inggris. Pada tahun 1867, Inggris mulai gencar membuat kekacauan di Kepulauan Melayu dengan cara menghasut para pemimpin kerajaan untuk perang saudara. Setelah perang terjadi, persekutuan baru terbentuk atas nama Malaysia pada 16 September 1964 melalui penyatuan Persekutuan Malaya, Singapura, Borneo utara (dnamakan Sabah) dan Serawak.
Awal terbentuknya Malaysia banyak permasalahan yang dialaminya, diantaranya konfrontasi dengan Indonesia, Singapura yang melepaskan diri dari Malaysia, terjadinya kerusuhan etnis tahun 1969 dan tuntutan Filiphina terhadap Sabah. Sejarah terbentuknya Malaysia ada banyak kaitannya dengan sejarah Indonesia. Malaysia berdiri dari kerjaaan Malaka yang mana kerajaan ini pendirinya adalah seorang pangeran dari kerajaan Sriwijaya. Dari sini maka Malaysia memiliki kekerabatan suku, agama, ras dan budaya dengan Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia tidak jauh berbeda dengan Malaysia karena kita dahulunya adalah satu kepulauan Melayu. Asal muasal nama Indonesia sendiri pertama kali dicetuskan oleh George Samuel Windsor Earl pada tahun 1850, beliau seorang ahli etnologi Inggris. Dalam satu artikel yang ditulisnya, beliau mengingatkan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk kepulauan Hindia dan kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas. Kemudian mengajukkan dua nama yaitu, Melayunesia dan Indunesia. Karena bahasa Melayu dan ras Melayu yang paling mendominasi maka Earl memberi nama Melayunesia untuk identitas kepulauan Hindia dan kepulauan Melayu.
Namun Earl memiliki murid yang bernama James Richardson Logan yang mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya. Logan memilih menggunakan nama Indunesia, karena Indunesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indus dan Nesos. Indus yang artinya Hindia dan Nesos yang berarti kepulauan. Dengan begini Indunesia melambangkan kepulauan Hindia. Logan mengambil nama ini dari Earl karena berdasarkan letak geografisnya dan mengganti huruf U dengan O pada nama Indunesia. Maka lahirlah istilah nama Indonesia.
Logan pun membuat tulisan ilmiah untuk mempopulerkan nama tersebut yang mana tulisan ilmiahnya sudah tersebar dikalangan pribumi dan Belanda. Nama Indonesia pun secara resmi digunakan oleh kepulauan Hindia sebagai nama khas. Bukti otentik bahwa nama Indonesia telah digunakan sebagai Identitas bangsa Indonesia tercantum pada Kongres Pemuda yang diselenggarakan pada tahun 1928.

Dinamika Hubungan Diplomatik Indo-Malay
Kemerdekaan Malaysia sebenarnya tidak luput dari semangat perjuangan kemerdekaan yang dibawa oleh para pahlawan bangsa Indonesia, berjuang bersama melawan kolonialisme dan semangat solidaritas satu rumpun untuk merdeka menjadi sejarah awal permulaan hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Posisi letak geografis yang berdekatan, persamaan dalam akar budaya sejarah, memiliki visi dan misi yang serupa serta latarbelakang sejarah yang saling membantu telah memperkuat jalinan hubungan yang sangat mesra antar kedua belah negara.
Sebagai tanda keakraban, Indonesia dan Malaysia memiliki panggilan kesayangan yaitu negara serumpun. Namun dengan keakuran fakta sejarah yang ada, tidak memungkinkan kedua negara juga tidak pernah berkonflik. Malah selain potensi kerjasama yang tinggi juga seiring dengan potensi konflik yang sangat besar karena bagaimanapun juga nasionalisme dan kepentingan masing-masing negara pun sudah jelas berbeda.
Berbagai Kerjasama dalam beberapa bidang yang dibangun cukup signifikan menguntungkan antar kedua negara. Keduanya saling mempengaruhi dan membantu dalam menjalankan politik luar negerinya seperti banyaknya investor-investor dari Malaysia yang berinvestasi di Indonesia dalam mengentaskan pengangguran dan juga pertukaran pelajar selalu dilaksanakan setiap tahun dalam bidang pendidikan dan lain-lain. Selama ini, hubungan kedua negara memang selalu tidak berjalan mulus atau relasi bilateral kedua negara memang tidak sepenuhnya diwarnai oleh kenangan manis.
Begitu banyak konfrontasi yang terjadi dalam pasang surut dinamika hubungan kedua negara tersebut, seperti halnya dahulu perseteruan yang hampir memutuskan hubungan diplomatic dengan Malaysia tentang anggapan presiden RI Soekarno yang melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme. Tidak hanya itu ia berlanjut dengan pengklaiman Malaysia terhadap pulau Sipadan-Ligitan secara sepihak, serta muncul pula kasus Ambalat dan masih banyak lagi. Dari konflik ini, kemudian berlanjut pengklaiman terhadap budaya yang membuat kondisi semakin memanas dan tidak terkendali.
Padahal berbagai kerjasama dalam bidang kebudayaan mulai berkembang dan dari wisata budaya atau jejak sejarah budayanya sangat erat hubungannya dengan Indonesia yang tujuannya adalah untuk saling bertukar seni kebudayaan. Kebudayaan merupakan ciri khas dari suatu negara untuk memperkenalkan tradisi dan identitas masing-masing negara. Meskipun negara serumpun memiliki akar sejarah yang sama, namun anggapan dan realita yang ditafsirkan oleh leluhur yang berbeda pandangan akhirnya bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Pengklaiman budaya ini terjadi karena pengambilan sudut pandang oleh Malaysia, dimana mereka mengakui suatu budaya dengan lestarinya suatu budaya yang subur di suatu negara bukan dengan menggali lebih dalam dari mana suatu budaya itu berasal. Hal ini akan selalu menjadi perbedaan jika tidak diselaraskan pemahaman yang menjadi dasar pengakuan.
Ketika terjalinnya hubungan diplomatic dengan negara lain, kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan utama yang diprioritaskan. Terlepas dari hubungan emosional yang tercipta sebelumnya, fakta membuktikan bahwa keberadaan histori yang heroic tidak menjamin suatu negara untuk lebih mementingkan rasa persudaraan dengan negara lain daripada kepentingan nasionalnya. Seperti yang terjadi Dalam setiap permasalahan yang ditimbulkan Malaysia terhadap Indonesia ternyata memiliki latarbelakang dan kepentingan nasional yang terselubung. Isu pengklaiman budaya ini sebenarnya merupakan permasalahan yang sangat serius dan menyangkut eksistensi kedaulatan Indonesia sendiri. Namun, dengan respon Indonesia yang sedikit lamban memberikan keuntungan tersendiri bagi Malaysia.
Ini dikarenakan sikap dan pandangan kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia dipengaruhi oleh pemahaman lama dan tidak bergeser bahwa Malaysia merupakan negara serumpun yang memiliki banyak persamaan nasib dan sepenanggungan dengan Indonesia. pandangan ini membuat sikap Indonesia sedikit lebih mementingkan hubungan yang serumpun daripada menindaklanjuti dengan tegas. Pemahaman yang seperti ini dimanfaatkan oleh Malaysia dengan tetap menggunakan konsep serumpun itu sendiri. Sedangkan pemahaman tersebut dan perubahan identitas terhadap Indonesia telah bergeser  keluar dari konsep serumpun yang collective identity.

Sentimen Kata “Serumpun” terhadap Tindakan Tegas Indonesia
Beberapa tulisan menyebutkan bahwa sumber konflik Malaysia-Indonesia berkaitan dengan perebutan sumber-sumber ekonomi seperti Sipadan dan Lingitan, ambalat, masalah lintas batas, perdagangan gelap, illegal logging, migrant dan human trafficking. Masalah yang terus bermunculan di kedua negara ini harus segera dicarikan jalan keluar agar tidak merusak hubungan baik kedua bangsa yang bersaudara atau serumpun ini.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia seringkali bersifat sporadik dan reaktif tanpa menyelesaiakan inti atau akar dari permasalahan tersebut. Contohnya ketika pemimpin Malaysia dituntut untuk meminta maaf kepada Indonesia karena beberapa masalah yang telah terjadi, kemudian hubungan kedua negara kembali normal seperti semula. Tapi suatu saat ketika terjadi sengketa atau masalah yang sama misal pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia maka akan memunculkan dan menimbulkan kembali reaksi serta emosi yang berlebihan.
Aksi protes terhadap Malaysia didalam berbagai kasus dimulai dari kesenjangan dan perbedaan identitas kedua negara dalam memahami satu pihak dengan pihak lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Wendt dalam empat sumber identitas kolektif yaitu, interdependence, common fate, homogeneity dan selfrestraint, terdapat perkembangan pemahaman yang berbeda jauh dikedua belah pihak.
Maka hasilnya identitas kolektif dari konsep kata serumpun dimaknai berbeda oleh kedua negara. Namun dari laporan protes yang diajukan Indonesia, kebanyakan masyarakat Indonesia masih memahami konsep kata serumpun dengan artian hubungan kekerabatan atau keluarga dan persahabatan. Karena mereka masih menganggap bahwa kita memiliki kesamaan dalam sejarah, nilai, budaya, saling membantu serta adanya persamaan nasib, persamaan-persamaan inilah yang pada akhirnya menjadi prinsip saling menghormati dalam keluarga seperti kakak dan adik. Sebaliknya dengan Malaysia dalam empat aspek yang telah diuraikan tadi hanya memaknai kata serumun sebatas retorika dan sekarang sudah mulai ditinggalkan.
Pemahaman mengenai identitas kolektif antara Malaysia dengan Indonesia makin menunjukan kesenjangan yang besar. Malaysia tidak lagi memahami konsep keserumpunan sebagai bagian dari identitas kolektif dan hanya menganggap dari instrumental yang sifatnya diletakkan pada konteks identitas baru sebagai bagian dari ‘New Asia’ atau negara yang baru menuju ke tahap industri. Sedangkan Indonesia masih memahami konsep serumpun yang memiliki arti kesamaan sejarah, ras dan budaya.
Malaysia menjadikan kata serumpun ini sebagai alat diplomasi untuk meredakan ketegangan dengan pihak Indonesia. Para pemimpin Malaysia datang ke Indonesia dan mengaku memiliki keturunan dan akar historis yang sama dengan Indonesia untuk meredakan amarah masyarakat Indonesia atas masalah pengklaiman budaya pada waktu lalu seperti pengklaiaman reog ponorogo, tari pendet, tari tor-tor, lagu rasa sayange, tari piring dan lain sebagainya. Seharusnya dalam penyelesaian masalah antara Indonesia dan Malaysia bukan konsep keserumpunan atau kekerabatan yang digunakan namun lebih kepada smart partnership atau partner sederajat.
Maka dari itu kita sebagai rakyat Indonesia harus mulai menumbuhkan kesadaran akan budaya sendiri untuk merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan Indonesia. Adalah tugas kita bersama, para guru dan para pengisi media massa, untuk mengingatkan kesadaran budaya dan kesadaran sejarah pada masyarakat luas. Adanya kesadaran budaya ditandai oleh, pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing memiliki jati diri beserta keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa diluar suku bangsa sendiri. Ketiga, pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya diberbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa disamping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang mengembangkan sebuah budaya baru yaitu kebudayaan nasional, yang dapat mengambil sumber dari mana pun, yaitu dari warisan budaya kita sendiri maupun dari unsur budaya asing yang dianggap dapat meningkatkan harkat bangsa.

Sikap Indonesia terhadap Isu Pengklaiman Budaya
Persoalan pengklaiman budaya adalah tindakan yang seharusnya tidak terjadi jika suatu negara sudah mematenkan secara keseluruhan budaya yang dimilikinya. Perbuatan Malaysia juga pastinya beralasan yang berhubungan dengan kepentingan nasionalnya sendiri, namun hal ini harusnya juga tidak dilakukan karena akan memantik permasalahan hubungan yang sangat rumit. Isu ini adalah hanya sebagian konflik yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia yang memungkinkan terjadinya akulturasi budaya yaitu proses masuknya pengaruh kebudayaan yang asing dalam artian berasal dari luar negeri menyebar dalam suatu masyarakat. Maka tidak heran apabila konflik klaim budaya ini sering dipermasalahkan karena sama-sama merasa paling berhak.
Namun, jika kita melihat sejarah, Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang sangat melimpah. Budaya-budaya tersebut juga disebarkan dan diajarkan serta kadangkala banyak yang melestarikan di tempat atau negara mereka menetap sehingga pelestarian berlangsung berabad-abad. Dengan kekayaan budaya yang sangat besar ini, khazanah kebudayaan Indonesia menjadi sejarah yang unik dan menarik.
Tapi sayangnya, tidak semua budaya yang ada di Indonesia terdaftar dan diakui secara resmi di dunia internasional. Beragam produk budaya asli Indonesia belum semuanya dicantumkan dalam daftar representatif UNESCO sesuai Konvensi UNESCO tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage). Padahal konvensi UNESCO tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 dan terhitung I5 januari 2008, Indonesia resmi menjadi negara pihak konvensi.
Sikap pemerintah Indonesia dalam menangani isu klaim budaya cukup memantik perseteruan konflik dalam masyarakat. Upaya yang paling tegas dilakukan oleh Indonesia adalah dengan meminta pertanggungjawaban dengan mengirimkan surat protes dan diselesaikan dengan cara mencari atau menyamai persepsi tentang sejarah budaya dimana ia berasal. Hal ini juga tidak memutuskan langkah Malaysia itu sendiri untuk mengejar kepentingan nasionalnya yang seringkali bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia. sikap klaim oleh Malaysia yang berulang-ulang terhadap budaya Indonesia menandakan kemampuan diplomasi Indonesia yang masih jauh dari harapan yang mencerminkan tindakan tegas, sehingga Malaysia masih bisa merasa percaya diri untuk melangkah lebih maju tanpa mementingkan rasa kekeluargaan dan pershabatan yang kental seperti yang Indonesia lakukan.
Kebudayaan yang serumpun merupakan masalah yang sangat rumit untuk diselesaikan karena akar sejarah yang sama membuat Indonesia tidak berkutik dan terkesan membiarkan pengklaiman itu terjadi. dari akar yang sama tersebut kebudayaan yang serumpun tidak bisa dipatenkan. Jadi penggabungan budaya antara Indonesia dan Malaysia seakan memiliki hak yang seimbang untuk pelestarian budaya. Sebenarnya juga Indonesia semakin sulit untuk menunjukkan sikap ketegasannya dikarenakan tidak ada sanksi bagi pengklaim atau pencuri seni budaya. Oleh karena itu, Malaysia sengaja mengambil kesempatan yang sangat lebar ini lebih mengenalkan budaya yang lagi berkembang dari daerah naungnnya sendiri.
Kepemilikan budaya yang gamang, dimana kedua negara memiliki hak seimbang yang merupakan budaya serumpun melayu menyulitkan hak paten untuk dimiliki. Yang jelas tak ada hak paten untuk budaya yang semacam ini. malah yang bisa dilakukan adalah inventarisasi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkuham). Salah satu cara agar pengklaiman budaya ini tidak terjadi lagi, pemerintah Indonesia berupaya mendaftarkan seluruh seni budaya Indonesia ke tingkat internasional, melalui UNESCO, namun lagi-lagi tiada sanksi yang bisa dijatuhkan karena UNESCO hanyalah mencatatkan dan tak ada sanksi.
Dikarenakan beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, pemerintah Indonesia mempersiapkan strategi hadapi klaim budaya oleh Malaysia agar tidak terulang dan wibawa diplomasi Indonesia tidak diremehkan; yaitu dalam jangka pendek Indonesia akan mengirimkan nota diplomasi keberatan terhadap klaim Malaysia, jangka menengah yaitu dengan melakukan perundingan bilateral dengan Malaysia khusus untuk membahas masalah kepemilikan budaya dan dalam jangka panjang serta merupakan keputusan akhir dengan membawa persoalan klaim kebudayaan ini ke Mahkamah Internasional dan pastinya memerlukan waktu dan biaya yang besar.
Dari penjelasan di atas, terbukti bahwa adanya hubungan serumpun melayu dan ketegasan kepemilikan budaya yang masih abu-abu menjadi hambatan tindakan tegas politik luar negeri Indonesia terhadap isu pengklaiman budaya oleh Malaysia. Politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif serta ditambah lagi dengan hubungan bilateral dengan Malaysia yang serumpun menjadi pertimbangan khusus bagi Indonesia untuk tidak sampai merusak persahabatan yang telah terjalin. Penyelesaian sengketa secara diplomatic masih menjadi solusi yang terbaik daripada menggunakan pihak militer karena prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif bisa terimplementasikan dengan baik dan isu ini juga sebenarnya  tidak sepenuhnya kesalahan dari Malaysia tetapi juga merupakan kelalaian yang dilakukan oleh Indonesia sendiri. jadi, Indonesia seharusnya bisa lebih tanggap dengan mengikuti langkah yang telah direncanakan.

Kesimpulan
            Isu pengkaiman budaya merupakan isu panas yang sempat meregangkan hubungan persahabatan antara Indonesia dan Malaysia. Berkali-kali Malaysia telah mengklaim beberapa budaya dari Indonesia. Hal ini merupakan ancaman bagi hubungan diplomatik keduanya serta budaya Indonesia juga terancam hilang jika tidak segera diamankan dan dipatenkan. Namun, beberapa permasalahan muncul ketika Indonesia berusaha menyelesaikannya seperti adanya hubungan serumpun yang melekat karena terikat sejarah dan bukti adanya akulturasi budaya antar kedua negara semakin merumitkan untuk adanya pembagian kepemilikan budaya antar keduanya. Malaysia juga sepertinya mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam kelengahan Indonesia untuk menjaga budayanya yang sangat banyak. Berbeda halnya dengan Indonesia yang merespon isu ini dengan tindakan sederhana yang pastinya mengambil kebijakan dengan mengatasnamakan rasa persaudaraan yang serumpun, hal ini dinilai Indonesia tidak bertindak tegas dan memantik konflik dan protes dari masyarakat. Pemerintah Indonesia harusnya mementingkan aset terbesar yang menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia itu sendiri dengan mengambil langkah yang mantap yaitu mendaftarkan seluruh kebudayaan indonesia di UNESCO sehingga kasus ini bisa dibawa ke tahap yang lebih tinggi, level internasional.

 Referensi
Sedyawati Edi. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta. 2006.
Hara Eby. 2015. Hubungan Malaysia dan Indonesia: dari Saudara Serumpun ke ‘smart partnership’?. Jember. Universitas Jember.
Baswedan Anies, dkk.Update Indonesia,Laporan Utama:Menelusuri Konflik Indonesia-Malaysia”. Vol. V. No.6-Oktober 20I0, The Indonesian Institute Center For Public Policy Research ISSN I979-I984.
Sejarawan. Sejarah Singkat Hubungan Awal Indonesia-Malaysia. http://www.sejarawan.com/255-sejarah-singkat-hubungan-awal-indonesia-malaysia.html. [Online] diakses pada tanggal 19 desember 2017
Learn Sejarah. Sejarah Malaysia. http://www.learnsejarah.com/2017/10/sejarah-malaysia.html. [Online] diakses pada tanggal 19 desember 2017

Kompasiana. Kisah Tentang Indonesia: Sebuah Nama, Bangsa dan Sejarah. https://www.kompasiana.com/widaqonita/kisah-tentang-indonesia-sebuah-nama-bangsa-dan-sejarah_56c5d5c827b0bda70b22c218. [Online] diakses pada tanggal 19 desemeber 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Indonesia-Australia Dalam Menanggulangi Human Trafficking

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ISU TENAGA KERJA CINA DI INDONESIA: PERSPEKTIF INDONESIA